Ikan mujair sangat tenar bagi masyarakat Indonesia. Hampir semua orang
mengenal ikan mujair, namun tidak semua orang tahu kenapa ikan ini ada
di Indonesia dan bagaimana awal-mula ikan ini dinamai “mujair”?
Nama ilmiah ikan mujair adalah Oreochromis mossambicus, dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Mozambique tilapia, atau kadang-kadang secara tidak tepat disebut “Java tilapia”. Ikan mujair termasuk jenis ikan air tawar. Penyebaran alami ikan ini berada di perairan Afrika dan Indonesia.
Ikan mujair mempunyai ukuran tubuh sedang, dengan panjang maksimum yang dapat dicapai sekitar 40 cm. Bentuk badannya pipih berwarna hitam, keabu-abuan, kecokelatan atau kuning. Sirip punggungnya (dorsal) memiliki 15-17 duri (tajam) dan 10-13 jari-jari (duri berujung lunak); serta bersirip dubur (anal) dengan 3 duri dan 9-12 jari-jari.
Kemampuan hidup ikan mujair sangat tinggi, karena ikan ini mempunyai toleransi yang besar terhadap kadar garam (salinitas). Dengan kemampuan itu, ikan ini mampu hidup di air payau. Selain itu ikan mujair juga memiliki pertumbuhan yang relatif cepat, tetapi setelah dewasa kecepatan pertumbuhannya akan menurun.
Ikan yang bersifat peridi atau beranak banyak ini mulai berbiak pada umur sekitar tiga bulan, dan setelah itu dapat berbiak setiap satu setengah bulan sekali. Setiap kali bertelur, ikan ini menghasilkan puluhan butir telur. Setelah dibuahi, telur-telur itu akan “dierami” di dalam mulut induk betina, dan hanya memerlukan waktu sekitar seminggu untuk menetas. Setelah menetas, anak-anak mujair tetap disimpan dalam mulut induknya. Mulut si induk tetap menjadi tempat perlindungan yang aman bagi anak-anak mujair yang masih kecil sampai anak-anak mujair ini disapih induknya.
Dengan sifat peridi ini, dalam waktu beberapa bulan saja, populasi ikan ini dapat meningkat sangat pesat. Apalagi mujair cukup mudah beradaptasi dengan aneka lingkungan perairan dan kondisi ketersediaan makanan.
Ikan mujair pertama kali ditemukan oleh Mbah Moedjair di muara Sungai Serang pantai selatan Blitar, Jawa Timur, pada 1939. Ikan ini ditemukan Mbah Moedjair sewaktu menjalani laku tirakat.
Setiap tanggal 1 Suro penanggalan Jawa, Mbah Moedjair selalu mandi di pantai Serang, Blitar selatan. Pada suatu saat ketika melakukan ritual mandi ini, Mbah Moedjair menemukan ikan yang jumlahnya sangat banyak dan mempunyai keunikan, yaitu menyimpan anak di dalam mulutnya ketika ada bahaya dan dikeluarkan ketika keadaan sudah aman.
Melihat keunikan tingkah laku ikan ini, Mbah Moedjair berinisiatif menagkap dan merawat ikan ini di rumahnya, di daerah Papungan, Kanigoro, Blitar. Untuk menangkap ikan ini, Mbah Moedjair menjaring dengan menggunakan kain udeng (ikat kepala) yang biasa ia pakai.
Bersama dua temannya, Abdullah Iskak dan Umar, Mbah Moedjair membawa ikan ini pulang ke Desa Papungan. Usaha membudidayakan ikan ini gagal karena habitat yang berbeda, dan ikan ini pun mati sewaktu dimasukkan ke air tawar di halaman rumah Mbah Moedjair. Namun, Mbah Moedjair tak putus asa, sebaliknya ia semakin gigih melakukan percobaan agar spesies ikan ini dapat hidup di habitat air tawar, habitat yang sangat berbeda dari aslinya yaitu air laut (asin).
Kegagalan yang dialami Mbah Moedjair tidak mumbuatnya menyerah. Ia kembali mengambil spesies ikan ini dengan gentong yang terbuat dari tanah liat. Ia juga melakukan percobaan dengan mencampurkan air laut yang asin dengan air tawar, terus menerus dengan tingkat konsentrasi air tawar semakin lama semakin lebih banyak dari air laut hingga kemudian kedua jenis air yang berbeda ini menyatu. Percobaan ini ia lakukan sampai menemui keberhasilan pada percobaan kesebelas. Dan, pada 25 Maret 1936 hiduplah empat ikan jenis baru ini dengan habitat air tawar. Segala jerih payah, kesulitan, dan rintangan yang Mbah Moedjair alami terbayar lunas dengan hidupnya empat ikan spesies baru ini. Mbah Moedjair kemudian menangkar empat ikan ini di sebuah kolam di daerah sumber air Tenggong, Desa Papungan.
Dari semula hanya satu kolam kemudian bertambah menjadi tiga kolam. Di sekitar kolam ini, Mbah Moedjair membangun pula pondok yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal bagi keluargannya. Perkembangbiakan spesies ikan ini begitu cepat. Jumlah ikan milik Mbah Moedjair pun semakin lama semakin banyak.
Mbah Moedjair semula memberikan ikan spesies baru ini secara Cuma-Cuma kepada masyarakat sekitar Papungan. Ikan spesies baru ini pun semakin lama semakin diperbincangkan banyak orang, hingga kemudian semakin banyak masyarakat yang mengembangbiakkan ikan ini. Alhasil, nama Mbah Moedjair pun semakin dikenal masyarakat luas.
Suatu ketika, berita penemuan ikan jenis baru ini sampai ke telinga Asisten Residen yang berkedudukan di Kediri. Asisten Residen yang juga seorang ilmuwan ini tergoda untuk meneliti spesies ikan hasil temuan Mbah Moedjair ini. Ia pun melakukan riset dan wawancara dengan Mbah Moedjair tentang ikan ini, dari proses penemuannya di pantai Serang sampai percobaan berulang kali untuk membuatnya hidup di air tawar.
Mendengar penuturan Mbah Moedjair, sang Asisten Residen takjub dan kagum akan kegigihan dan keuletan Mbah Moedjair. Dan demi menghormati kegigihan Mbah Moedjair, Asisten Residen lalu memberikan penghargaan kepada Mbah Moedjair dengan menamai ikan spesies baru ini sesuai dengan nama penemunya, Moedjair.
Selain itu, Pemerintah Daerah juga mengangkat Mbah Moedjair sebagai Jogo Boyo Desa Papungan serta memberi gaji bulanan kepadanya. Sedangkan Pemerintah Pusat mengangkat Mbah Moedjair sebagai Mantri Perikanan.
Selain itu, pada 30 Juni 1954 di Bogor, beliau menerima penghargaan Executive Committee dari Indo Pasific Fisheries Council atas jasanya menemukan ikan mujair.
Penghargaan atas kegigihan Mbah Moedjair juga diberikan oleh Kementerian Pertanian atas nama pemerintah Republik Indonesia pada 17 Agustus 1951, saat itu dijabat Ir. Soeharto. Pada 6 April 1965, pemerintah Indonesia melalui Departemen Perikanan Darat dan Laut juga menganugerahkan piagam Nelayan Pelopor kepada Mbah Moedjair. Piagam ini ditandatangani oleh Menteri Perikanan Hamzah Atmohandojo.
Mbah Moedjair wafat pada 7 September 1957 akibat penyakit asma. Ia dimakamkan di pemakaman umum Desa Papungan. Kemudian, atas inisiatif Departemen Perikanan, pada 1960 makam beliau dipindahkan ke area khusus di selatan Desa Papungan, yang juga berfungsi sebagai makam keluarga. Di batu nisannya tertulis “Moedjair Penemu Ikan Moedjair” lengkap dengan relief ikan mujair. Sebagai penghargaan atas jasa beliau yang tak ternilai, akses jalan menuju makam juga diberi nama Jalan Moedjair
Sumber :
Warta Pasar Ikan, Edisi Desember 2011 No.100
Nama ilmiah ikan mujair adalah Oreochromis mossambicus, dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Mozambique tilapia, atau kadang-kadang secara tidak tepat disebut “Java tilapia”. Ikan mujair termasuk jenis ikan air tawar. Penyebaran alami ikan ini berada di perairan Afrika dan Indonesia.
Ikan mujair mempunyai ukuran tubuh sedang, dengan panjang maksimum yang dapat dicapai sekitar 40 cm. Bentuk badannya pipih berwarna hitam, keabu-abuan, kecokelatan atau kuning. Sirip punggungnya (dorsal) memiliki 15-17 duri (tajam) dan 10-13 jari-jari (duri berujung lunak); serta bersirip dubur (anal) dengan 3 duri dan 9-12 jari-jari.
Kemampuan hidup ikan mujair sangat tinggi, karena ikan ini mempunyai toleransi yang besar terhadap kadar garam (salinitas). Dengan kemampuan itu, ikan ini mampu hidup di air payau. Selain itu ikan mujair juga memiliki pertumbuhan yang relatif cepat, tetapi setelah dewasa kecepatan pertumbuhannya akan menurun.
Ikan yang bersifat peridi atau beranak banyak ini mulai berbiak pada umur sekitar tiga bulan, dan setelah itu dapat berbiak setiap satu setengah bulan sekali. Setiap kali bertelur, ikan ini menghasilkan puluhan butir telur. Setelah dibuahi, telur-telur itu akan “dierami” di dalam mulut induk betina, dan hanya memerlukan waktu sekitar seminggu untuk menetas. Setelah menetas, anak-anak mujair tetap disimpan dalam mulut induknya. Mulut si induk tetap menjadi tempat perlindungan yang aman bagi anak-anak mujair yang masih kecil sampai anak-anak mujair ini disapih induknya.
Dengan sifat peridi ini, dalam waktu beberapa bulan saja, populasi ikan ini dapat meningkat sangat pesat. Apalagi mujair cukup mudah beradaptasi dengan aneka lingkungan perairan dan kondisi ketersediaan makanan.
Ikan mujair pertama kali ditemukan oleh Mbah Moedjair di muara Sungai Serang pantai selatan Blitar, Jawa Timur, pada 1939. Ikan ini ditemukan Mbah Moedjair sewaktu menjalani laku tirakat.
Setiap tanggal 1 Suro penanggalan Jawa, Mbah Moedjair selalu mandi di pantai Serang, Blitar selatan. Pada suatu saat ketika melakukan ritual mandi ini, Mbah Moedjair menemukan ikan yang jumlahnya sangat banyak dan mempunyai keunikan, yaitu menyimpan anak di dalam mulutnya ketika ada bahaya dan dikeluarkan ketika keadaan sudah aman.
Melihat keunikan tingkah laku ikan ini, Mbah Moedjair berinisiatif menagkap dan merawat ikan ini di rumahnya, di daerah Papungan, Kanigoro, Blitar. Untuk menangkap ikan ini, Mbah Moedjair menjaring dengan menggunakan kain udeng (ikat kepala) yang biasa ia pakai.
Bersama dua temannya, Abdullah Iskak dan Umar, Mbah Moedjair membawa ikan ini pulang ke Desa Papungan. Usaha membudidayakan ikan ini gagal karena habitat yang berbeda, dan ikan ini pun mati sewaktu dimasukkan ke air tawar di halaman rumah Mbah Moedjair. Namun, Mbah Moedjair tak putus asa, sebaliknya ia semakin gigih melakukan percobaan agar spesies ikan ini dapat hidup di habitat air tawar, habitat yang sangat berbeda dari aslinya yaitu air laut (asin).
Kegagalan yang dialami Mbah Moedjair tidak mumbuatnya menyerah. Ia kembali mengambil spesies ikan ini dengan gentong yang terbuat dari tanah liat. Ia juga melakukan percobaan dengan mencampurkan air laut yang asin dengan air tawar, terus menerus dengan tingkat konsentrasi air tawar semakin lama semakin lebih banyak dari air laut hingga kemudian kedua jenis air yang berbeda ini menyatu. Percobaan ini ia lakukan sampai menemui keberhasilan pada percobaan kesebelas. Dan, pada 25 Maret 1936 hiduplah empat ikan jenis baru ini dengan habitat air tawar. Segala jerih payah, kesulitan, dan rintangan yang Mbah Moedjair alami terbayar lunas dengan hidupnya empat ikan spesies baru ini. Mbah Moedjair kemudian menangkar empat ikan ini di sebuah kolam di daerah sumber air Tenggong, Desa Papungan.
Dari semula hanya satu kolam kemudian bertambah menjadi tiga kolam. Di sekitar kolam ini, Mbah Moedjair membangun pula pondok yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal bagi keluargannya. Perkembangbiakan spesies ikan ini begitu cepat. Jumlah ikan milik Mbah Moedjair pun semakin lama semakin banyak.
Mbah Moedjair semula memberikan ikan spesies baru ini secara Cuma-Cuma kepada masyarakat sekitar Papungan. Ikan spesies baru ini pun semakin lama semakin diperbincangkan banyak orang, hingga kemudian semakin banyak masyarakat yang mengembangbiakkan ikan ini. Alhasil, nama Mbah Moedjair pun semakin dikenal masyarakat luas.
Suatu ketika, berita penemuan ikan jenis baru ini sampai ke telinga Asisten Residen yang berkedudukan di Kediri. Asisten Residen yang juga seorang ilmuwan ini tergoda untuk meneliti spesies ikan hasil temuan Mbah Moedjair ini. Ia pun melakukan riset dan wawancara dengan Mbah Moedjair tentang ikan ini, dari proses penemuannya di pantai Serang sampai percobaan berulang kali untuk membuatnya hidup di air tawar.
Mendengar penuturan Mbah Moedjair, sang Asisten Residen takjub dan kagum akan kegigihan dan keuletan Mbah Moedjair. Dan demi menghormati kegigihan Mbah Moedjair, Asisten Residen lalu memberikan penghargaan kepada Mbah Moedjair dengan menamai ikan spesies baru ini sesuai dengan nama penemunya, Moedjair.
Selain itu, Pemerintah Daerah juga mengangkat Mbah Moedjair sebagai Jogo Boyo Desa Papungan serta memberi gaji bulanan kepadanya. Sedangkan Pemerintah Pusat mengangkat Mbah Moedjair sebagai Mantri Perikanan.
Selain itu, pada 30 Juni 1954 di Bogor, beliau menerima penghargaan Executive Committee dari Indo Pasific Fisheries Council atas jasanya menemukan ikan mujair.
Penghargaan atas kegigihan Mbah Moedjair juga diberikan oleh Kementerian Pertanian atas nama pemerintah Republik Indonesia pada 17 Agustus 1951, saat itu dijabat Ir. Soeharto. Pada 6 April 1965, pemerintah Indonesia melalui Departemen Perikanan Darat dan Laut juga menganugerahkan piagam Nelayan Pelopor kepada Mbah Moedjair. Piagam ini ditandatangani oleh Menteri Perikanan Hamzah Atmohandojo.
Mbah Moedjair wafat pada 7 September 1957 akibat penyakit asma. Ia dimakamkan di pemakaman umum Desa Papungan. Kemudian, atas inisiatif Departemen Perikanan, pada 1960 makam beliau dipindahkan ke area khusus di selatan Desa Papungan, yang juga berfungsi sebagai makam keluarga. Di batu nisannya tertulis “Moedjair Penemu Ikan Moedjair” lengkap dengan relief ikan mujair. Sebagai penghargaan atas jasa beliau yang tak ternilai, akses jalan menuju makam juga diberi nama Jalan Moedjair
Sumber :
Warta Pasar Ikan, Edisi Desember 2011 No.100
Komentar
Posting Komentar